Tag Archives: it’s me being sarcastic

Peer Group, “Nggak Ada Lo, Nggak Ngaruh”

“Di Psikologi ini yang penting punya Peer Group. Pasti selamat sentosa, deh, sampai lulus.”

–Senior saat diwawancara dalam Prosesi Psikologi UI

“Peer group pressure is a powerful force, but you can choose whether it is a good or bad influence on your life.”

–Dr. Kate

Karena sekarang ini di UI sedang masa-masanya pengisian IRS, alias masanya rebutan kelas dan merencanakan kelas apa saja yang mau diambil untuk semester depan, otomatis semua orang yang saya kenal (yang berkuliah di UI juga) langsung sibuk–kalau bukan panik–merencanakan kelas yang akan mereka ambil dan…. siapa saja yang mereka inginkan untuk sekelas lagi. Jujur, saya sendiri merasa jadi seorang pengamat luar di saat semua hal ini terjadi, karena (mungkin) saya adalah satu-satunya orang yang paling tidak mempedulikan siapa saja yang akan menjadi teman sekelas saya di kelas-kelas yang saya ambil di semester berikutnya. Dan sebagai pengamat luar, saya lumayan terkesan dengan begitu banyaknya komentar-komentar mengenai kesepakatan pengambilan kelas ini.

Bukannya saya tidak punya keinginan untuk sekelas dengan orang-orang tertentu–terutama orang-orang berotak encer yang bukan seorang close-minded kids seperti kebanyakan orang yang saya temui–tapi saya menemukan diri saya tidak terlalu ngotot berupaya untuk sekelas lagi dengan orang-orang tersebut. Toh, diskusi menarik tetap bisa dilakukan di luar kelas, dan orang-orang berotak encer itu tetap bisa diperdayagunakan jika kita pintar mengakalinya. Makanya, saya selalu sukses dibuat heran dengan sikap teman-teman saya yang sepertinya dunia perkuliahan mereka akan kiamat kalau teman-teman “geng” mereka tidak sekelas lagi dengan mereka.

Oke, mungkin akan banyak yang menentang saya masalah ini, karena, saya akui, saya sendiri adalah seorang introverted sejati yang tidak pernah terlalu tergantung pada orang lain. Saya akui juga bahwa saya bukanlah tipe orang yang senang terikat pada konformitas. Tapi sungguh, perlukah kita sebegitunya tergantung pada orang lain sampai hal-hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi malah seakan menjadi tanggung jawab orang lain? Seperti misalnya, masalah indeks prestasi yang seharusnya bergantung pada kemampuan masing-masing malah teralih bergantung pada siapa yang sekelas dengan kita di semester tersebut?

Tapi anehnya, saat saya mewawancarai salah satu senior dalam rangka ospek tahun lalu (lupakan masalah tentang kejunioran saya) dia berkata bahwa peer group adalah penyelamat utama dalam perkuliahan di Psikologi UI. Menurutnya, karena tugas-tugas kuliah di Fakultas Psikologi mayoritas merupakan tugas kelompok, maka mempunyai peer group tetap di kampus adalah hal yang sangat membantu, karena dengan begitu kita bisa mengerjakan tugas kelompok dengan peer group kita dan terhindar dari mengerjakan tugas kelompok dengan orang-orang yang tidak sepaham dengan kita.

No shit, Sherlock. Yeah, no shit.

Sebelum saya dilempari tomat busuk karena mengajukan pendapat tidak populer yang kontraversi, saya akan memberikan satu garis kesepakatan mengenai hal-hal apa saja yang saya setuju dan tidak mengenai peer group. Mulai dari definisi.

Peer groups are an informal primary group of people who share a similar or equal status and who are usually of roughly the same age, tended to travel around and interact within the social aggregate. Members of a particular peer group often have similar interests and backgrounds, bonded by the premise of sameness.”

–Sun Wolf, cited by Wikipedia

“Peer group is a person who is of equal standing with another in a group.”

–AudioEnglish Dictionary

Secara definisi, saya tidak menemukan hal yang bisa membuat saya tidak setuju, terutama karena dari beberapa definisi yang saya baca, semuanya mencantumkan “equal status” atau “equal standing” di dalamnya. Saya adalah seorang penentang diskriminasi, walaupun penyanjung individualitas, karena itu saya sangat setuju masalah kesetaraan derajat yang diungkapkan dalam definisi tersebut. Saya juga setuju dengan pendapat dosen yang menyatakan bahwa peer group adalah kelompok sosial yang mempunyai jalur pemikiran yang sama dengan kita agar dapat lebih mudah memahami pandangan seseorang terhadap suatu masalah.

Intinya, secara kesetaraan dan kesepahaman, saya menyukai fungsi peer group. Namun jika kesepahaman dan kesetaraan tersebut telah menjadi eksklusifitas, dependensi, dan posesifitas, dengan senang hati saya akan mengatakan bahwa peer group bukanlah suatu hal yang akan saya dukung.

Sayangnya, bahkan di kalangan mahasiswa yang notabene sudah berada pada usia mandiri, keberadaan peer group tidak pernah terlepas dari ketiga hal yang saya tidak sukai tersebut. Seperti yang saya jelaskan di atas mengenai perencanaan kelas di semester berikutnya, terlihat jelas dampak ketiga hal tersebut pada cara mahasiswa merencanakan pengambilan mata kuliahnya. Beberapa hari sebelum pembukaan registrasi SIAK-NG (situs registrasi online mahasiswa UI) seluruh jejaring sosial yang saya tahu penuh dengan keributan mengenai siapa yang ingin sekelas dengan siapa, siapa yang ingin mengambil mata kuliah apa, jam mana yang kelompok mereka akan ambil untuk mata kuliah apa, dan sebagainya. Dependensi. Dan begitu ada satu saja anggota kelompok mereka yang tidak mengambil kelas yang sama, mereka akan panik sepanik-paniknya dan mengusahakan cara-cara agar mereka bisa sekelas. Bagaimana pun juga. Karena, hei, dunia akan kiamat kalau mereka tidak sekelas!

Menariknya, bahkan tidak disebutkan di kitab suci bahwa kiamat akan hadir hanya dengan membiarkan satu peer group tidak lagi sekelas.

Lalu masalah eksklusifitas dan posesifitas. Dua hal ini adalah yang saya curigai sebagai akar dari timbulnya kondisi sosial bernama “geng”. Jangan mengira kata “geng” hanya akan ada di sinetron-sinetron dengan anak SMA sebagai tokoh antagonis yang gemar mem-bully teman-teman sekitarnya. Saya sempat termasuk sebagai kalangan orang bodoh yang mengharapkan bahwa dunia kampus yang lebih dewasa dan berwawasan (apalagi UI) akan terhindar dari “geng”. Walaupun memang, budaya bully sudah tidak lagi saya temui–ataupun jika saya temui, akan saya acuhkan dengan kibasan tangan–tapi kata “geng” itu sendiri masih hadir dengan aktif, secara tersirat maupun terang-terangan. Dan di Psikologi, kata ini tersebar di penjuru kampus dengan nama baru yang lebih saintifik; peer group.

Seperti yang saya bilang di awal, saya bukanlah pendukung konformitas. Saya adalah seorang rebel–mengacu pada sebutan teman-teman di SMA–yang gemar menclok di sana-sini dengan siapa pun yang berhasil saya ingat wajah dan namanya, hingga budaya peer group yang sepertinya didewakan oleh semua senior di Psikologi sudah saya duga sejak awal tidak akan cocok dengan gaya hidup ‘serigala’ saya. Saya benar, tentu saja, peer group sama sekali bukan hal yang cocok dengan saya yang straight to the point dan penyuka hubungan casual-bussiness.

Sialnya, kesadaran saya akan hal tersebut sama sekali tidak bisa menghindarkan saya dari setidaknya ikut terciprati budaya yang satu ini–bless you, Pychology.

Jadi, ya, masalah ekslusifitas dan posesifitas itu terus saya rasakan dari masa ke masa sejak TK. Dan hal itu yang membuat saya menjadi orang yang paling anti terhadap peer group.

Satu yang paling saya benci dari budaya ini adalah munculnya slogan “Nggak ada lo, nggak rame” yang dipopulerkan oleh sebuah iklan rokok beberapa tahun silam, yang semenjak kemunculannya langsung menjadi slogan para peer group–apa yang terjadi pada larangan bagi anak muda untuk mengambil sponsor dari perusahaan rokok, saya juga tidak mengerti. Ya, nggak ada lo, nggak rame. Sebuah frasa yang kelihatannya cukup inosen dan bertujuan awal baik dengan mengajak para generasi muda untuk ikut andil dalam lingkungannya secara sosial. Sayangnya, bagi para peer groupers, pesan ini diartikan sebagai “karena kamu adalah anggota kelompok ini, maka jika kamu tidak mengikuti kemauan kelompok ini, kamu tidak akan dianggap sebagai anggota kelompok”. Eksklusif? Posesif? Sangat.

Saya sudah cukup sering merasakan dampak tidak enak frasa ini, di mana saat saya setidaknya dianggap telah masuk ke dalam sebuah kelompok, kehadiran saya di setiap sesi kebersamaan adalah wajib hukumnya, dan kalau saya sering absen, anggota yang lainnya akan mulai berbisik-bisik di belakang saya saat wajah saya teralih–yang sebenarnya tidak terlalu teralih. Sesi kebersamaan yang dimaksudkan juga bukan dalam rentang waktu beberapa hari sekali atau beberapa minggu sekali. Bagi peer group, sesi kebersamaan itu adalah setiap saat, termasuk saat di kelas, saat makan siang, dan saat pulang. Bahkan kalau misalnya peer group memutuskan bahwa saat buang air besar juga merupakan saat kebersamaan, saya tidak akan kaget lagi.

Dampak negatif yang saya rasakan dari peer group yang salah sasaran ini lumayan banyak. Efek dari Eksklusifitas dalam peer group adalah tertutupnya jalan untuk masuk ke kelompok lain hingga kesempatan untuk menambah wawasan dan network dalam kegiatan bersosialisasi. Dampak lainnya adalah timbulnya stereotip kelompok, hingga jika salah satu anggota kelompok tidak bersama yang lainnya, maka orang di luar kelompok akan mulai bertanya “Kok tumben nggak sama peer-nya?” atau yang semacamnya. Dan pertanyaan macam itu adalah pertanyaan yang paling saya benci, yang tak jarang saya tanggapi dengan sinis. Tidak bisakah saya dianggap sebagai seorang individu mandiri dan bukannya anggota dari sebuah kelompok?

Lalu dampak dari posesifitas adalah hilangnya waktu-waktu pribadi. Saya tidak tahu apakah ada yang setuju dengan saya masalah ini, tapi saya adalah tipe orang yang selalu butuh waktu untuk sendiri. Kadang saya menyukai pergi ke beberapa tempat seorang diri, dan saya menyukainya, saya tidak butuh untuk ditemani siapa pun pada waktu-waktu seperti itu. Namun jika kita berada dalam kelompok yang posesif, waktu kita untuk diri sendiri akan cenderung berkurang drastis. Tentu, anggota yang lainnya tidak akan memaksakan kehendak, tapi bisakah kita menghadapi dengan dingin pandangan kecewa mereka? Bahkan saya yang dianggap orang berhati dingin pun akan baru akan benar-benar menolak ketika tingkat kebersamaan peer saya sudah melampaui ambang batas saya.

Dan yang terparah adalah dependensi. Hal ini yang saya anggap paling fatal dari seluruh akibat negatif peer group. Slogan “nggak ada lo, nggak rame” tadi segera berubah menjadi “nggak ada lo, kiamat” di tangan kelompok yang sangat dependan antaranggotanya, dan ini membuat sistem pengambilan keputusan individu melemah, karena mereka akan cenderung melihat teman sekelompoknya untuk menentukan keputusan, dan ketika tiba waktunya mereka harus seorang diri dan mengambil keputusan, mereka akan cenderung mundur dan mencari aman bersama anggota yang lain.

Kenapa saya bilang dependensi dalam kelompok ini fatal akibatnya? Karena saya melihat sendiri hasil dari sifat ini, baik dalam diri yang masih sekolah maupun yang sudah kuliah. Salah satu kesalahan fatal yang diakibatkan dependensi kelompok pernah dilakukan salah satu tetangga saya yang hendak melanjutkan bangku kuliah memutuskan untuk menolak kesempatan kuliah di UNS hanya karena teman sekelompoknya tidak ada yang diterima di SNMPTN, karena itu dia lebih memilih bekerja bersama teman sekelompoknya di sebuah pusat perbelanjaan sebagai penjaga toko. Contoh ekstrim lainnya, seorang mahasiswa tidak jadi mengambil satu mata kuliah karena tidak ada orang yang dia kenal dalam kelas yang dia ambil tersebut. Bukankah kedua contoh di atas sangat menghancurkan masa depan yang bersangkutan?

Peer group seharusnya bisa dipergunakan dengan baik sebagai pembangkit semangat dan tempat untuk menemukan solusi masalah sehari-hari. Dalam peer group seharusnya dapat ditemukan sebuah kinerja yang lebih baik dalam berbagai hal karena kesetaraan dan kebersamaan kelompok. Tapi jika keterikatan dalam sebuah peer group terlalu kuat hingga individualitas tersingkirkan, ada baiknya dipertimbangkan lagi apakah kelompok tersebut mampu meningkatkan penglihatan atau justru menutup mata kita dari masa depan yang ingin kita raih.

Karena bagi saya peer group berarti “ada lo semakin rame, nggak ada lo nggak ngaruh“.

Dengan kaitkata , ,