Tag Archives: psychology

Psycho-Pass: Ketika Kehidupan Ditentukan Oleh Seberapa Sehat Mental Seseorang

Title : Psycho-Pass (サイコパス, saiko pasu)

Directed by : Naoyoshi Shiotani

Studio: Production I.G.

Genre : Action, Sci-fi, Psychological Thriller

Status : Ongoing (22 episodes planned, 3 episodes aired)

Rating : 18+ (for graphic violence and profanity)

The Story

“Apa yang akan terjadi ketika kehidupan seseorang dalam lingkungan sosial ditentukan oleh stabilitas mental orang tersebut?”

Hal itulah yang menjadi topik utama dari cerita besutan Production I.G. yang mulai tayang sejak tanggal 11 Oktober 2012 kemarin. Dikisahkan, di masa depan manusia mulai menganggap bahwa kebergunaan suatu individu dalam lingkungannya dipengaruhi oleh seberapa sehat mental individu tersebut. Oleh karena itu diciptakanlah sebuah sistem pendeteksi kondisi psikologis dan kepribadian yang bernama Psycho-Pass. Psycho-Pass ini akan menghasilkan data kondisi psikologis seseorang yang bernama “Crime Coefficient” yang nantinya tingkatan kemungkinan kebergunaan akan dianalisa oleh Sybill System. Jika Crime Coefficient seseorang melebihi angka 60, maka akan dilakukan penanganan berupa konsultasi psikologis oleh departemen kesehatan, namun jika angka melebihi 100, maka hal itu menyatakan bahwa orang tersebut sudah masuk ke dalam kategori kriminal yang menuntut diturunkannya personil keamanan untuk menanganinya.

Kisah Psycho-Pass mengikuti kegiatan Unit 1 dari Divisi Keamanan dan Investigasi. Unit ini khusus menangani masalah-masalah kriminal yang terjadi akibat peningkatan aktivitas Crime Coefficient seseorang. Dalam unit ini terdapat dua petugas resmi kepolisian, Inspektur Nobuchika Ginoza dan seorang inspektur baru, Akane Tsunemori. Meskipun hanya terdiri dari dua orang petugas resmi, namun mereka didukung oleh “Enforcers“, sekelompok orang dengan status Latent Criminal (Crime Coefficient lebih dari 100) yang sengaja dipekerjaakan untuk menangkap atau mengeliminasi Latent Criminal yang berkeliaran. Enforcers ini terdiri dari empat orang: Shinya Kogami, Tomomi Masaoka, Shusei Kagari, dan Yayoi Kunizuka.

Bagi penggemar Katekyo Hitman Reborn! pasti akan merasa familiar dengan artwork dari anime satu ini, karena yang menangani character design anime ini adalah orang yang sama dengan KHR, yaitu Akira Amano. Background artwork penuh dengan CGI yang berkualitas, suatu hal yang memang sudah menjadi kelebihan Production I.G. sejak lama. Kisah ini dikabarkan akan memiliki total 22 episode, meski hingga 25 Oktober kemarin, baru tiga episode yang ditayangkan. Episode 4 menurut jadwal akan tayang pada tanggal 1 November mendatang.

The Depression and Mental Health

Pada Hari Kesehatan Mental Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Oktober kemarin, WHO mengangkat tema Depresi dan menyatakan bahwa kini depresi telah menjadi 2nd Global Burden of Disease, setingkat di bawah penyakit jantung. Hal ini nampaknya mulai membuka mata banyak negara akan ancaman tersembunyi yang ditimbulkan oleh gangguan psikologis yang satu ini. Dan nampaknya, Jepang menyuarakan jawaban mereka atas pentingnya memelihara kesehatan mental dengan cara mengeluarkan anime yang satu ini. Terbit hanya selang sehari dari World Mental Health Day 2012, anime ini memberi informasi pada khalayak mengenai seberapa mudah stres menjangkit anak muda jaman sekarang dan bagaimana peran kesehatan mental dalam keberlangsungan lingkungan.

Dalam Psycho-Pass juga diselipkan pesan mengenai kelemahan alat pengukuran kondisi psikologis, yaitu Sybill System dan Psycho-Pass itu sendiri. Masalah etika kembali disinggung mengenai pengukuran idiografik dan nomotetik, terutama mengenai pengukuran dan analisis instan yang menyeluruh tanpa mempertimbangkan aspek kondisi dan pribadi. Oleh karena itu, meskipun Sybill System mampu mendeteksi kondisi mental semua orang dan mengelompokkan mereka sebagai sehat/tidak sehat, masih diperlukan keberadaan petugas lapangan yang pada akhirnya akan memutuskan apakah status tersebut sesuai untuk individu tersebut.

Overall Rating

10/10.

Yap, saya bukan berlebihan. Mungkin saya sedikit bias karena kisah ini mengangkat tema psikologi, but really, this story’s worth to try. Tiga episode dan saya langsung berniat untuk setia menunggu lanjutannya. Great theme, great plot, great artwork (the CGI? to die for), nice characterization, nice and important messages delivery, I think this story would gain popularization for this season. So yeah, recommended to watch.

Dengan kaitkata , , ,

I Feel Psychotic

Baru-baru ini saya membaca sebuah buku memoar tentang penderita manic-depressive disorder (atau sering juga disebut bipolar disorder) yang berjudul An Unquiet Mind karangan seorang psikiater Kay Redfield Jamison.

An Unquiet Mind, buku tentang Manic-Depressive Disorder yang dikarang oleh Kay Redfield Jamison

Apa sih manic-depressive disorder itu? Bagi yang belum familiar dengan istilah kerennya, bipolar, manic-depressive adalah salah satu bentuk kelainan kejiwaan yang membuat penderitanya merasakan episode mania dan depresi bergantian secara cepat, bahkan terkadang kedua episode itu terjadi secara bersamaan. DSM-IV TR, sebuah manual bagi segala mental disorder (dan kitab suci bagi para psikiater dan psikolog klinis) memberi definisi sebagai berikut:

Bipolar disorder is characterized by the occurrence of at least one manic or mixed-manic episode during the patient’s lifetime. Most patients also, at other times, have one or more depressive episodes. In the intervals between these episodes, most patients return to their normal state of well-being. Thus bipolar disorder is a “cyclic” or “periodic” illness, with patients cycling “up” into a manic or mixed-manic episode, then returning to normal, and cycling “down” into a depressive episode from which they likewise eventually more or less recover.

Tingkat manic-depressive ini juga ditentukan dengan tingkat episode mania yang dialami penderita. Ada penderita yang hanya mengalami fase hipomania, di sini penderita, saat mengalami episode ini, hanya merasa dirinya tiba-tiba berada dalam mood yang sangat baik, semangatnya meningkat, banyaknya ide yang muncul, dan merasa mampu untuk mengerjakan banyak hal. Lalu ada juga fase mania akut, dimana seseorang saat berada dalam kondisi ini akan merasakan peningkatan mood hingga sampai ke tahap euforia, hiperaktivitas, dan kurangnya waktu tidur, serta seringkali diikuti oleh gejala delusional. Yang terakhir, yang paling parah, adalah mania delirium. Pada fase yang seperti ini penderita sudah mengalami tingkat delusional yan parah hingga terkadang tidak menyadari di mana mereka berada. Ketiga jenis mania ini, jika kemudian disertai oleh episode depresi, maka akan menjadi bipolar disorder. Dua mood yang saling bergantian ini membuat bipolar terkenal dengan ikon dua topeng berwajah sedih dan senang.

The Happy and The Sad, ikon manic-depressive disorder

Ada teman kuliah saya yang mengaku bahwa dirinya bipolar dan secara rutin telah mengikuti terapi sejak semester awal kami berkuliah di Psikologi. Waktu teman saya menyatakan hal tersebut saya merasa bingung karena saya tidak pernah melihatnya berganti mood secara cepat, bahkan selalu terlihat seolah bahagia. Bagaimana mungkin dia bipolar? Bukannya bipolar adalah pergantian mania dan depresi secara cepat?

Ternyata saya salah besar. Manic-depressive memang merupakan kelainan yang selalu menimbulkan mania yang kemudian disusul oleh depresi, tapi ternyata tidak secepat itu. Selama ini saya kira penderita bipolar mengalami mood-switch yang sangat cepat, seperti misalnya dalam hitungan jam atau bahkan menit. Ternyata tidak, begitu saya baca lebih lanjut di DSM-IV, ciri utama dari manic-depressive hanyalah episode mania yang diikuti oleh depresi akut. Waktu pergantiannya ternyata bukan selalu dalam hitungan jam atau menit (walau memang ada juga yang seperti itu), tapi bahkan bisa berbulan-bulan. Seorang penderita bisa saja mengalami episode mania selama tiga minggu dan kemudian dilanjutkan dengan episode depresi yang bisa jadi lebih lama, lalu kembali normal hingga berbulan-bulan sebelum siklus itu bisa kembali menyerang. Bahkan ada orang yang kembali normal dahulu setelah mengalami episode mania, lalu baru mengalami depresi dalam jangka beberapa minggu setelahnya. Karena itulah saya tidak bisa menangkap simtom bipolar kawan saya itu, karena saya hanya memperhatikannya dalam lingkup per jam atau harian, padahal mungkin bisa saja teman saya itu mengalami perubahan dalam lingkup mingguan.

Dan karena salah persepsi mengenai waktu serangan itulah saya jadi tidak menyadari kalau saya juga penderita manic-depressive.

Saya baru menyadarinya ketika saya membaca buku An Unquiet Mind tersebut. dr. Jamison sangat detil dalam menggambarkan penyakitnya, menggambarkan setiap situasi yang dihadapinya ketika ia mendapatkan serangan mania dan depresinya hingga saya bisa mengerti dengan jelas bagaimana rasanya menjadi seorang manic-depressive. Dan membaca buku itu dalam seratus halaman pertama membuat saya bergidik ngeri karena menyadari bahwa semua simtom yang terdapat pada psikiater tersebut juga saya rasakan.

Dr. Jamison menceritakan bahwa ia baru menyadari kelainannya saat ia mengikuti kelas psikologi (sepertinya memang kuliah psikologi merupakan tempat berobat jalan) di waktu dirinya menyelesaikan kuliah magister kedokterannya. Saat mengalami episode mania ia selalu melakukan sesuatu secara hiperaktif, seperti mengkopi satu puisi yang sedang ia sukai pada waktu itu dan membagikannya ke semua orang yang ia kenal, menyuruh mereka membacanya. Ia juga sering merasa ide berkeliaran di kepalanya hingga satu saat ia bisa saja menulis artikel ilmiah sementara beberapa menit sebelumnya ia baru saja browsing mengenai resep yang ingin dicobanya. Pikirannya terus berlompatan tanpa bisa diikuti oleh aktivitas fisiknya hingga ia selalu berpindah dari satu tugas ke tugas lain yang jauh berbeda. Saat berada dalam kondisi mania ia akan bicara terlalu cepat dengan topik melompat-lompat hingga tak ada yang berhasil mengikuti arah pembicaraannya, dan ia akan bicara berteriak dengan energi yang sangat besar. Ia impulsif dalam membelanjakan uang sampai ke titik dimana semua kartu kreditnya mencapai limit tanpa mempedulikannya. Lalu saat semua energi yang besar itu menyusut, ia akan dengan cepat jatuh ke dalam jurang depresi. Ia akan sadar bahwa ia telah mengkopi sebuah puisi hingga kamarnya penuh dengan kertas-kertas bertuliskan kalimat-kalimat sama persis, atau sadar bahwa ia telah menghabiskan seluruh gajinya untuk membeli satu buku yang sama sebanyak puluhan kopi atau baju-baju dan aksesoris. Begitu ia kembali turun ke tanah yang menyadarkannya akan hasil kegilaannya, ia akan langsung terjun ke lembah depresi; merasa dirinya bodoh dan tidak berharga karena telah melakukan hal-hal tersebut, merasa dunia kejam padanya, bahkan sampai pada pemikiran untuk mengakhiri hidupnya agar bisa terbebas dari kondisi manianya.

Semua hal itu juga terjadi pada saya. Akan ada satu saat dimana saya merasa sangat bahagia, melayang seakan semua masalah meninggalkan saya. Di saat seperti itu saya akan mendapatkan banyak ide – terlalu banyak ide – hingga tangan dan mulut saya sama sekali tidak dapat mengikutinya. Dalam satu hari seperti itu saya bisa membuat sekitar dua puluh draft cerita – hanya draft, karena kepala saya terlalu penuh dengan ide hingga saya harus menuliskan semuanya sebelum ide tersebut menghilang, baru akan saya kerjakan setelah semua ide berhasil saya pindahkan ke suatu bentuk solid. Saya akan tersenyum puas – kadang tertawa – saat menulis, merasa terlalu aroused saat membiarkan tangan saya menari di atas keyboard. Saya akan gemar merekomendasikan buku – kalau bukan memaksa membaca – buku yang saya anggap bagus atau meng-quote kata-kata dari buku tersebut dimana pun. Kalimat-kalimat yang keluar dari kepala saya akan lebih susah untuk dimengerti oleh kawan-kawan saya karena saya cenderung mengatakan sesuatu tanpa topik penyambung bahkan konjungsi. Saya akan gemar meletupkan humor-humor sarkastis yang membuat teman-teman saya terbahak.  Dan saya akan menjadi spending-spree dalam hal membeli buku. Saya akan terus-menerus membeli buku hingga uang di rekening mencapai batas limit, terkadang bahkan saya tidak mencari review buku itu terlebih dahulu, hanya karena kovernya cantik atau ada satu kata yang saya sukai dalam deskripsi buku, saya akan langsung membelinya. Saya akan merasa saya bisa melakukan apa pun yang saya inginkan, bahkan dalam keadaan seperti itu tak jarang saya pergi ke pagar pembantas lantai atas suatu bangunan dan mengintip ke bawah, berkhayal mengenai kenikmatan dalam menjatuhkan diri dari sana, merasakan angin memburu di sekitar saya saat terjatuh. Tidak, pada saat seperti itu saya tidak pernah memikirkan bagaimana sakitnya setelah mencapai tanah.

Lalu saat lambungan pemikiran tersebut selesai (biasanya setelah satu-dua minggu), saya langsung merasa ditarik kembali ke kenyataan. Hal-hal yang masuk ke dalam pikiran saya bukan lagi hal-hal menyenangkan seperti sebelumnya. Saya diingatkan oleh tugas, oleh absen yang berbaris dan bersiap mencekal ujian saya, oleh kewajiban saya terhadap beasiswa, oleh nilai-nilai saya, oleh jumlah uang di rekening saya, saya teringat kepada semua hal itu dan langsung jatuh ke lembah depresi. Saya akan merasa tidak berguna, merasa bodoh, dan merasa bahwa dunia ini terlalu buruk untuk bisa saya jalani. Saya akan menjadi paranoid yang skeptis, tidak mempercayai apa pun, mencela semua orang, dan memaki-maki diri sendiri karena tidak bisa membenahi diri dan dunia. Ya, dan dunia. Saya akan mencela semua karya yang telah saya tulis, menyadari letak kesalahan sekecil apa pun dan akan semakin depresi karena menyadari bahwa saya tidak berkembang meskipun orang lain berkata sebaliknya. Di saat seperti itu saya akan berubah dari humoris-sarkastis menjadi pengkritik-skeptis. Dunia ini perlu dibenahi, saya harus membenahi dunia ini, saya ingin menghapus dunia ini, dan lain-lain.

Karena itu, saat membaca An Unquiet Mind saya merasa seperti sekaligus menemukan diri sendiri dan menolak bahwa saya mempunyai kelainan kejiwaan seperti itu. Untuk meyakinkan diri sendiri saya akhirnya mencari tes online untuk bipolar disorder dan mengecek diri saya sendiri. Hasilnya? Ternyata saya mempunyai tipe Bipolar II, kondisi bipolar disorder yang mempunyai episode hipomania dan disusul dengan episode depresi yang lebih dominan, bahkan termasuk major depression atau acute depression. Merasa masih gamang, saya akhirnya mencari tes untuk depression disorder, dan menemukan bahwa saya memang menderita major depression. Saya positif manic-depressive.

Tapi kenapa saya baru menyadari mood saya yang mudah berubah ini setelah saya masuk kuliah? Kenapa sebelumnya saya tidak pernah merasa ada yang salah dengan perubahan mood saya?

Ternyata, menurut DSM-IV, gejala manic-depressive memang pada umumnya baru disadari saat penderita berusia awal 20an, walaupun ada juga yang memang merasakannya sejak jauh lebih muda. Dan saya sekarang ini berada pada tahun ke-21 kehidupan saya. Wajar. Semuanya jadi wajar. Dan semuanya menjadi lebih jelas bagi saya.

Memang tes yang saya jalani sampai saat ini hanya didapat secara online dari sebuah website psikologi dimana saya berlangganan artikelnya. Mungkin untuk membuat diagnosa saya lebih baik, saya akan mengunjungi psikolog saya dan meminta tes yang lebih akurat.

Dan bagi yang ingin mengetahui tentang Bipolar disorder, An Unquiet Mind adalah buku yang sangat saya rekomendasikan.

Jadi, kesimpulannya, kelainan yang saya miliki hingga sekarang bertambah menjadi; ADHD-I (Attention Deficit-Hyperactive disorder predominantly inattentive), disleksia, dan bipolar II. God help me.

 

Dengan kaitkata , ,